Bagikan:

JAKARTA - Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai wacana pemerintah Indonesia untuk melakukan relaksasi impor harus dilakukan dengan hati-hati.

Hal ini menyusul Presiden RI Prabowo Subianto pada Selasa (8/4) yang secara tegas meminta jajaran Kabinet Merah Putih (KMP) untuk menghapus kuota produk-produk impor sehingga mempermudah kelancaran para pengusaha Indonesia dalam berusaha, terutama yang bermitra dengan pihak global.

“Soal relaksasi impor harus dilakukan ekstra hati-hati. Setidaknya ada dua pertimbangan jika (regulasi terkait kuota) impor direvisi,” kata Bhima dikutip dari ANTARA, Rabu, 9 April.

Menurut Bhima, pertimbangan pertama adalah terkait perang dagang yang membuat produsen dari berbagai negara mencari pasar alternatif.

“Contohnya pakaian jadi dari Vietnam, Kamboja dan China akan membanjiri pasar Indonesia,” ujar Bhima.

“Pelaku usaha domestik banyak yang meminta Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 8 Tahun 2024 segera direvisi, tapi ini malah tidak dilakukan. Kalau impor dilonggarkan bukankah ini sama dengan bunuh diri?” imbuhnya.

Pertimbangan kedua adalah pentingnya menelaah kembali program-program pemerintah yang relevan demi mendukung tujuan terkait relaksasi impor secara umum.

“Program Prabowo yang berkaitan dengan swasembada pangan jadi tidak relevan. Impor pangan yang angkanya sudah jumbo, bakal makin melonjak drastis,” kata Bhima.

Sebelumnya, Presiden Prabowo mengatakan langkah menghapus kuota impor perlu diterapkan sebagai bagian dari deregulasi yang ingin dijalankannya untuk menjaga kesehatan persaingan usaha di Indonesia.

Di samping mendukung para pengusaha untuk bisa memiliki kemudahan menjalankan bisnis, Presiden mengingatkan para pengusaha juga dapat menjaga komitmennya untuk berkontribusi bagi negara.

Selain meminta pengusaha dapat memastikan ketersediaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat, Prabowo juga mengingatkan mereka untuk taat membayar pajak sebagai kontribusi untuk pembangunan negara.