JAKARTA - Anggota Komisi III DPR RI Abdullah meminta Polri memberikan edukasi secara khusus bagi seluruh jajaran aparat terkait kerja-kerja pers.
Hal ini buntut insiden pemukulan yang dilakukan tim pengamanan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo kepada jurnalis yang bertugas melakukan peliputan mudik beberapa waktu lalu.
“Saya rasa menjadi mendesak saat ini melakukan edukasi untuk meningkatkan pemahaman dari anggota polisi maupun aparat keamanan dari instansi lainnya terkait kerja-kerja pers. Termasuk juga tentang kebebasan Pers dan Hak Asasi Manusia (HAM),” ujar Abdullah, Rabu, 9 April.
“Tujuannya agar para aparat keamanan ini tahu prinsip, nilai dan cara kerja dari pers dan hak yang dimiliki jurnalis dalam bekerja. Karena kekerasan dan intimidasi terhadap pers dari aparat keamanan sudah seringkali terjadi,” sambungnya.
Terkait kasus intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis ini, Abdullah juga meminta agar ajudan Kapolri bernama Ipda Endry Purwa Sefa ditindak dengan tegas. Apalagi, Kapolri juga sudah memerintahkan agar insiden terhadap jurnalis tersebut diusut tuntas.
“Bentuk keseriusan dalam mendukung kebebasan pers dan HAM yang dilindungi dalam undang-undang dasar, kemudian undang-undang tentang pers dan undang-undang tentang hak asasi manusia, sudah sepatutnya pelaku intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis media dihukum maksimal,” tegas Abdullah.
Abdullah menilai, apabila Ipda Endry tidak diberi sanksi tegas, maka akan muncul anggapan bahwa Polri menormalisasi intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis atau pekerja media.
“Tentunya ini mengancam serta dapat menggerus praktik-praktik dari demokrasi di Indonesia ke depannya,” katanya.
Legislator PKB dari Dapil Jawa Tengah VI itu pun mendorong anggota kepolisian dan tim pengaman lainnya untuk bekerja sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP). Ia juga menegaskan, bahwa penting bagi petugas keamanan mengetahui batasan tindakan dan kontrol diri ketika bekerja di lapangan.
“Makanya penting bagi anggota Polri memahami prinsip-prinsip demokrasi, termasuk kebebasan pers dan HAM sehingga mengetahui batas tindakan dan kontrol diri. Bukan hanya ke jurnalis saja, tapi juga termasuk ke masyarakat umum,” tegas Abduh.
“Saat ini yang terjadi sebaliknya. Masih cukup banyak anggota polisi tidak tahu tugas pers dan mereka juga tidak paham bagaimana merespon pers yang terkait pekerjaan mereka seperti pengamanan,” tambahnya.
Abduh juga mengajak semua pihak untuk berpartisipasi dalam meningkatkan indeks kebebasan pers dan meminimalisir ancaman terhadap jurnalis media. Ia menyebut, kurangnya kesadaran terhadap tugas jurnalistik akan menimbulkan kerugian bagi publik.
“Kerugian yang akan dialami masyarakat banyak adalah kesulitan mendapatkan informasi yang benar, informasi yang dibutuhkan dan informasi yang berpihak kepada kepentingan masyarakat, jika kita tidak membela kebebasan pers dan melawan intimidasi serta kekerasan terhadap jurnalis media,” kata Abduh.
“Semua pihak mesti berpartisipasi mewujudkan ekosistem pers yang aman dan sehat. Dan tidak boleh lagi ada ancaman terhadap kebebasan pers dan jurnalis media yang terus berulang," pungkasnya.
Seperti diketahui, dugaan kekerasan tim pengaman Kapolri terjadi ketika para jurnalis meliput kegiatan Jenderal Sigit saat menyapa penumpang di Stasiun Tawang Kota Semarang, Jawa Tengah, beberapa hari lalu. Saat itu sejumlah jurnalis dan humas berbagai lembaga mengambil gambar dari jarak yang wajar.
BACA JUGA:
Saat kejadian, tim pengamanan Kapolri bernama Ipda Endry Purwa Sefa meminta para jurnalis dan humas mundur dengan cara mendorong dengan cukup kasar. Salah satunya pewarta foto dari Kantor Berita Antara Foto, Makna Zaezar, menyingkir dari lokasi tersebut menuju sekitar peron.
Sesampainya di peron, Ipda Endry menghampiri Makna kemudian melakukan kekerasan dengan cara memukul kepala Makna. Usai pemukulan itu, terdengar juga ancaman kepada para jurnalis.